
Semangat … Semangat … Semangat … Itulah kata yang selalu saya biasakan dari dalam diri saya pribadi untuk secara alamiah untuk berkata seperti itu. Harapannya ini juga bisa diikuti yang lainnya loh… Bisa langsung dicoba dan rasakan bedanya deh ^_^
Kali ini saya meneruskan artikel yang sudah saya tulis
sebelumnya. Hayo masih pada ingat engga? Sedikit mereview di Part 1 saya
memaparkan bahwa “penyakit” ini mengakibatkan berkurangnya kuantitas dan
kualitas membaca. Biar nyambung bisa langsung baca http://yudhadyaksa.blogspot.com/2013/07/hati-hati-terjangkit-penyakit-dunia-maya.html?view=mosaic
oke.
Nah di Part 2 saya akan membagi 2 “penyakit” yang akan
muncul jika kita terlalu lama di dunia maya tanpa dipersenjatai dengan
penyaringan informasi yang optimal. “Penyakit” sosial kedua, suburnya kebiasaaan
berdebat tiada manfaat. Dunia maya tiba – tiba memberikan derajat yang
sama kepada penggunanya. Egaliter menemukan definisi terbaiknya.
Tidak peduli presiden ataupun orang biasa, tak peduli profesor ataupun tidak
sekolah, semua tiba-tiba jadi setara. Kolom komentar di jejaring sosial, laman
berita media massa, dan forum memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk
berkomentar. Situasi ini kian rumit mengingat pemilik laman, pengelola sebuah
akun, menyadari makin ”menarik” sebuah topik akan mengundang banyak pengunjung.
Kita harus menonton perdebatan tiada
manfaat hampir di semua sudut dunia maya. Komentar saling menjelekkan, memaki,
dan menghina ringan sekali ditulis pengguna dunia maya. Tidak ada topik yang
kebal atas situasi ini. Kita tiba-tiba merasa penting untuk berpendapat,
terlepas dari kualitas pendapat itu.
Hal-hal yang sudah tahu sama tahu tetap
diperdebatkan. Sesuatu yang sudah jelas, baik, tetap diperdebatkan. Apalagi
yang memang kontroversial dan berpotensi beda pendapat. Kita tidak lagi
merayakan beda pendapat dengan menghormati satu sama lain, melainkan merayakan
perbedaan dengan meneriakkan nyaring pendapatnya.
Semakin maraknya mental gratisan adalah “penyakit” sosial ketiga.
Di dunia maya semua seolah gratis. Pengguna internet mengunduh film-film laris,
yang bahkan belum beredar di bioskop lokal. Orang berbagi file lagu
yang tentu saja full gratis, e-book ilegal ada di
mana-mana, hingga mencomot sana-sini hasil jerih payah pemikiran dan proses
kreatif orang lain. Jika kita terbiasa dengan gaya bahasa forum
berbagi file, maka istilah leechers atau ”lintah” lazim
digunakan untuk merujuk ke pengguna yang menyedot puluhan, ratusan, bahkan
ribuan file ”gratis”. Mental gratisan ini merusak banyak sistem,
menerabas hukum. Pada tingkat lebih rendah merusak masyarakat itu sendiri. Jika
kita hanya memikirkan mendapat sesuatu secara gratis, proses memberi, proses berkarya,
perlahan akan padam dengan sendirinya.
Saya kembali mengulang pernyataan saja di part 1 >>
lalu? Hanya dengan menganggukkan kepala saja lalu hiraukan “Penyakit” ini?
Apakah itu yang akan kamu lakukan? Atau mencoba keluar dari fenomena tersebut
kemudian mengajak orang – orang sekitarmu agar tak terjerumus. Jawabannya
terserah anda, karena ada pepatah berkata “Jika ingin merubah seseorang ubahlah
dulu dirimu sendiri”. Sampai saat ini saya masih yakin dengan teknik “Inspirasi”
itu masih relevan. Dimana kita melakukan hal yang baik dan secara tidak
langsung orang sekitar kita akan lakukan hal yang sama dengan apa yang kita
lakukan.
Renungkanlah kawan… semoga kita tidak menjadi orang – orang yang
akhirnya menjadi penonton akibat perilaku yang kita contohkan ke generasi
penerus kita. Terima kasih semua sudah membaca sedikit artikel di kompas yang
saya perbarui dengan harapan hal ini bermanfaat dan berdampak bagi semua. Feel
free to Sharing, please invite me on my media social @yudhady28 - https://www.facebook.com/yudhady28
... Semangat!!!

1 Comments
Feel Fre to Comment
ReplyDelete